BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejauh ini, layanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus disediakan tiga macam lembaga pendidikan yaitu SLB,
SDLB, dan Pendidikan Terpadu. Akan tetapi, banyak kendala yang menghambat
pemenuhan kebutuhan pendidikan anak-anak
tersebut. Diantaranya masih sangat terbatasnya kemauan lembaga pendidikan
terpadu yaitu sekolah reguler untuk menampung anak berkebutuhan khusus. Selain
itu, pada umumnya lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal, anak-anak
berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah. Akibatnya sebagian dari
mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya rendah terpaksa tidak
disekolahkan. Sebagian yang lain mungkin dapat diterima di sekolah reguler
terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus mengakibatkan mereka
beresiko tinggal kelas atau putus sekolah. Untuk itulah dicari terobosan baru untuk
meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan
inklusif. Sesuai dengan UU RI No 20 tahun 2003 pasal 15, UUD 1945 pasal 31 ayat
1, dan Permendiknas No 70 tahun 2009 pasal 4. Dengan demikian pelayanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka
di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik SLB maupun sekolah reguler.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah latar belakang
pendidikan inklusif menurut perundangan?
2.
Bagaimanakah latar
belakang pendidikan inklusif menurut empiris layanan pendidikan dan hak-hak
peserta didik?
3.
Apakah yang dimaksud
dengan pendidikan inklusif?
4.
Apa sajakah yang
menjadi falsafah dari pendidikan inklusif?
C.
Tujuan
Makalah
ini disusun bertujuan untuk:
1. Menjelaskan
latar belakang pendidikan inklusif menurut perundangan.
2. Mengetahui
latar belakang pendidikan inklusif menurut empiris layanan pendidikan dan
hak-hak peserta didik.
3. Memahami
pengertian pendidikan inklusif.
4. Menunjukkan
falsafah pendidikan inklusif.
D.
Sistematika
Penulisan
Makalah ini
terdiri dari tiga bagian yaitu pendahuluan, pembahasan, serta penutup.
Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika
penulisan makalah. Bagian pembahasan mencakup latar belakang pendidikan
inklusif, empiris layanan pendidikan dan hak-hak peserta didik, pengertian
pendidikan inklusif, serta falsafah pendidikan inklusif. Sedangkan pada bagian
akhir berisi tentang kesimpulan yakni inti dari pembahasan yang dikemas dengan
bahasa yang singkat dan saran bagi
kesempurnaan makalah ini. Selain itu, makalah ini juga dibubuhi daftar pustaka
sebagai rujukan.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP DASAR PENDIDIKAN
INKLUSIF
A.
Latar
Belakang
1.
Perundangan
Berdasarkan
Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang–Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan
jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan
pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus
atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak
lainnya dalam pendidikan.
Selama
ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan
melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah
Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga
pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama
sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk
anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan
berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik dan motorik
(Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan
SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SDLB menampung
berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sementara itu pendidikan terpadu
adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan
kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.
Namun selama ini baru sedikit sekolah yang mau menampung anak berkebutuhan
khusus. Sebagian besar yang lain masih menolak dan keberatan menerima anak
berkebutuhan khusus di sekolah regular (umum).
Pada
umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak
berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak
hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang
kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi
SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah
tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya.
Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat,
namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal
kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas dapat berakibat pada
kegagalan program wajib belajar.
Untuk
mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan
perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah
reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang
belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat
atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus
disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta
didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa
yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal
inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak
berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara lebih
operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 70 tahun 2009 tanggal 5 Oktober 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi
Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau
Bakat Istimewa. Diantara pasa-pasal dalam Permendiknas Nomor 70 tahun 2009
pasal 4 disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit
1 (satu) sekolah dasar dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah
untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1). Selanjutnya
dikatakan ayat (2) pasal 4 bahwa satuan pendidikan selain yang ditunjuk
oleh Kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 3 ayat (1).
Dengan demikian pelayanan pendidikan
bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di
setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah
reguler/umum.
Dengan
adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik
di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK.
2.
Empiris
Layanan Pendidikan Dan Hak-Hak Peserta Didik
Landasan
empiris penelitian tentang manajemen inklusi telah banyak dilakukan di
negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar di pelopori oleh
the National Academy of Sciences (Amerika serikat). Hasilnya menunjukkan
bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat
khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar
pendidian khusus secara
segregatif hanya
diberikan terbatas
berdasarkan hasil identiikasi yang tepat (Depdiknas, 2003: 12, dalam Heller, Holtzman &
Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit
untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara
tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan
Walberg, 1994/1995).
Beberapa
peneliti kemudian melakukan metaanalisis yang dijelaskan dalam (Depdiknas, 2003:
12 ) dilakukan oleh Calberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian,
Wang dan Baker (1985/1086) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994)
terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak
positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun social anak berkelainan dan
teman sebayanya.
Selama
ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga
pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Luar Biasa (SDLB), dan
Pendidikan Inklusi (terpadu). SLB, sebagai lembaga pendidikan tertua,
menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB
Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB
Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan,
sehingga didalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, dan/atau tuna ganda. Seperti halnya di
Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusi
masih kontroversi (Depdiknas, 2003: 13, dalam Sunardi, 1997).
Para
pendukung konsep pendidikan inklusi mengajukan argumen antara lain; (1) belum banyak
bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang
diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi
anak, (2) biaya sekolah khusus relatif mahal dari pada sekolah umum, (3) sekolah
khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif
pada anak, (4) banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan
karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, (5) anak berkelainan harus
dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
Sedangkan
para pakar yang mempertahankan berbagai alternatif penempatan pendidikan
bagi anak berkelaianan berargumen; (1) peratuaran perundangan yang
berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang
bersifat kontinum, (2) hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya
berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelaianan, (3) tidak
semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler
bersama teman-teman seusianya yang normal, (4) pada umumnya sekolah reguler
belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusi karena keterbatasan sumber
daya pendidikannya.
Ada beberapa hak
dan kebutuhan murid berkelainan, diantaranya yaitu sebagai berikut.
a. Hak
siswa :
Siswa
yang memiliki kelainan tentunya mempunyai hak yang sama dengan siswa yang
normal. Hal ini tercantum dalam undang-undang, yaitu mereka :
a) Berhak
mendapatkan pemeliharaan
b) Berhak
mendapatkan pendidikan
c) Berhak
mendapatkan jaminan kerja
d) Berhak
berpendapat
e) Berhak
bersuara
b. Kebutuhan
siswa :
Pada
dasarnya kebutuhan siswa berkelainan adalah sama dengan kebutuhan anak normal,
hanya saja ia mempunyai kebutuhan khusus disebabkan kelainannya. Kebutuhan yang
dimaksudkan adalah :
a. Kebutuhan
social
Mereka memerlukan
kontak dan kerjasama dengan orang lain.
b. Kebutuhan
pendidikan
Mereka harus dibantu
supaya tidak disisihkan dari perencanaan dan langkah-langkah pendidikan.
c. Kebutuhan
disiplin
Mereka perlu mengenal
disiplin.
d. Kebutuhan
akan gambaran diri
Agar mereka dapat
mengambil langkah yang tepat sesuai dengan kenyataan dirinya.
e. Kepercayaan
diri
Sangat perlu bagi siswa
berkelainan, karena orang yang tidak percaya pada dirinya akan selalu diliputi
keraguan dan rasa menderita.
f. Kebebasan
berkembang
Mereka harus merasa
bahwa mereka berhak berkembang sesuai dengan keadaannya masing-masing.
3.
Pengertian Pendidikan Inklusif
Anak yang memiliki kelainan memiliki hambatan
dalam belajar, hambatan utamanya adalah sulit untuk maju dalam mengakses
pendidikan setinggi mungkin bukan pada kecacatannya, tetapi pada penerimaan sosial
masyarakat sekitar. Bahkan hambatan bagi anak yang berkelainan justru sulit
mengatasi hambatan sosial karena
hambatan dalam diri anak yang mempunyai kelainan itu umumnya disebabkan oleh
pandangan sosial masyarakat yang negatif terhadap dirinya. Untuk itu, pendidikan
yang terselenggara tidak hanya untuk anak
normal saja akan tetapi anak yang berkelainan juga berhak memperoleh pendidikan
yang layak serta mendapat jaminan bahwa setiap anak akan mendapatkan pelayanan
untuk mengembangkan potensinya secara individu. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1
dan UU. No. 20 tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa
setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikan
Inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelainan
atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah
umum atau reguler sebagai pengganti kelas pendidikan khusus part-time,
pendidikan khusus full-time, atau sekolah luar biasa (segregasi). Pendidikan
inklusif dapat juga dikatakan pendidikan reguler yang disesuaikan dengan
kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang
sistemik.
Sehingga pendidikan inklusi berarti menempatkan
siswa berkelainan secara fisik dalam kelas atau sekolah regular, inklusi
bukanlah sekedar memasukan anak berkelainan sebanyak mungkin dalam lingkungan
belajar siswa normal. Inklusi juga merupakan suatu sistem yang hanya dapat
diterapkan ketika semua warga sekolah memahami dan mengadopsinya. Dalam
perkembangannya, inklusi juga termasuk para siswa yang dikaruniai keberbakatan,
mereka yang hidup dipinggiran, memiliki kecacatan, dan kemampuan belajar di bawah
rata-rata kelompoknya. Jadi pendidikan inklusif adalah pendidikan di sekolah biasa yang
mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal
diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat
istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan
khusus.
Pengertian lain dari pendidikan Inklusif adalah
sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di
sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon –
Shevin dalam 0 Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan khusus inklusif
adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini
menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan setiap murid
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak
berhasil (Stainback,1980 ).
a)
Perbedaan pendidikan inklusif dengan pendidikan pada umumnya.
Pendidikan pada umumnya adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada umumnya peserta didik dalam pendidikan
umum/pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga
guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya
dirancang untuk anak normal. Hal ini karena asumsi yang melandasi adalah bahwa
peserta didik memiliki kemampuan yang homogin. Sebaliknya pada pendidikan
inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler.
Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan
proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua
peserta didik dapat mengembangkan potensinya.
b)
Pendidikan terpadu dan pendidikan inklusif.
Pendidikan
terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang
memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Perbedaan yang menonjol antara
pendidikan terpadu dengan pendidikan inklusif terletak pada sistem pendidikan yang
ada di sekolah tersebut. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem
yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan
yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.
4.
Falsafah
pendidikan Inklusif
Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan
suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan
masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi
dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti
halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu
kehidupan masyarakat.
Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya
mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
a)
Sekolah ramah adalah pendidikan yang
menghargai hak dasar manusia
b)
Sekolah ramah adalah pendidikan
yang memperhatikan kebutuhan individual
c)
Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman
d)
Sekolah ramah berarti tidak
deskriminatif
e)
Sekolah ramah menghindari
labelisasi
Falsafah
pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
a)
Pendidikan untuk semua. Setiap
anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
b) Belajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk
mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.
c)
Integrasi pada lingkungan. Setiap
anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang
harmonis.
d) Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak dipandang sama dan
tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi
yang unik.
BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan
reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan
dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular
dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif dimaksudkan untuk
memberikan kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus mengenyam pendidikan
sama dengan anak-anak normal dalam sekolah reguler sesuai amanat Pemerintah
dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003. Hal ini
menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan. Pendidikan
inklusif hendaknya mampu memberikan suasana yang ramah dalam pembelajaran,
yaitu pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual, menerima
keanekaragaman dan tidak diskriminatif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Salim Choiri,dkk.2009.Pendidikan Anak
berkebutuhan khusus secara
Inklusif.Surakarta:Percetakan
sendiri.
Kartadinata, Sunaryo, dkk. 2002. Bimbingan Di Sekolah
Dasar. Bandung: Maulana
friendlyschool.blogspot.com/.../mengenal-pendidikan-inklusif-1.html
sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html salimchoiri.blog.uns.ac.id/.../latar-belakang-pendidikan-inklusif-bagi-anak berkebutuhan-khusus.
www.bintangbangsaku.com/.../konsep-pendidikan-inklusi.
0 komentar:
Posting Komentar