Selasa, 05 Juni 2012

LATAR BELAKANG, PENGERTIAN, DAN FALSAFAH PENDIDIKAN INKLUSIF ( MAKALAH PENDIDIKAN INKLUSIF )


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejauh ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus disediakan tiga macam lembaga pendidikan yaitu SLB, SDLB, dan Pendidikan Terpadu. Akan tetapi, banyak kendala yang menghambat pemenuhan kebutuhan  pendidikan anak-anak tersebut. Diantaranya masih sangat terbatasnya kemauan lembaga pendidikan terpadu yaitu sekolah reguler untuk menampung anak berkebutuhan khusus. Selain itu, pada umumnya lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal, anak-anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya rendah terpaksa tidak disekolahkan. Sebagian yang lain mungkin dapat diterima di sekolah reguler terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus mengakibatkan mereka beresiko tinggal kelas atau putus sekolah. Untuk itulah dicari terobosan baru untuk meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan inklusif. Sesuai dengan UU RI No 20 tahun 2003 pasal 15, UUD 1945 pasal 31 ayat 1, dan Permendiknas No 70 tahun 2009 pasal 4. Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik SLB maupun sekolah reguler.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.         Bagaimanakah latar belakang pendidikan inklusif menurut perundangan?
2.         Bagaimanakah latar belakang pendidikan inklusif menurut empiris layanan pendidikan dan hak-hak peserta didik?
3.         Apakah yang dimaksud dengan pendidikan inklusif?
4.         Apa sajakah yang menjadi falsafah dari pendidikan inklusif?
C.      Tujuan
Makalah ini disusun bertujuan untuk:
1.    Menjelaskan latar belakang pendidikan inklusif menurut perundangan.
2.    Mengetahui latar belakang pendidikan inklusif menurut empiris layanan pendidikan dan hak-hak peserta didik.
3.    Memahami pengertian pendidikan inklusif.
4.    Menunjukkan falsafah pendidikan inklusif.

D.      Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari tiga bagian yaitu pendahuluan, pembahasan, serta penutup. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan makalah. Bagian pembahasan mencakup latar belakang pendidikan inklusif, empiris layanan pendidikan dan hak-hak peserta didik, pengertian pendidikan inklusif, serta falsafah pendidikan inklusif. Sedangkan pada bagian akhir berisi tentang kesimpulan yakni inti dari pembahasan yang dikemas dengan bahasa yang singkat dan  saran bagi kesempurnaan makalah ini. Selain itu, makalah ini juga dibubuhi daftar pustaka sebagai rujukan.





BAB II
PEMBAHASAN
                          KONSEP DASAR PENDIDIKAN INKLUSIF           
A.      Latar Belakang
1.    Perundangan                                                                                                    
Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang–Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu, Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkebutuhan khusus. Sementara itu pendidikan terpadu adalah sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus, dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama. Namun selama ini baru sedikit sekolah yang mau menampung anak berkebutuhan khusus. Sebagian besar yang lain masih menolak dan keberatan menerima anak berkebutuhan khusus di sekolah regular (umum).
Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah (kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah, sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas dapat berakibat pada kegagalan program wajib belajar.
Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa ‘pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Secara lebih operasional, hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 tanggal 5 Oktober 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi Peserta Didik yang memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Diantara pasa-pasal dalam Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 pasal 4 disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1). Selanjutnya dikatakan ayat (2) pasal 4 bahwa satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh Kabupaten/kota dapat menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1).
Dengan demikian pelayanan pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak lagi hanya di SLB tetapi terbuka di setiap satuan dan jenjang pendidikan baik sekolah luar biasa maupun sekolah reguler/umum.
Dengan adanya kecenderungan kebijakan ini, maka tidak bisa tidak semua calon pendidik di sekolah umum wajib dibekali kompetensi pendidikan bagi ABK.
2.    Empiris Layanan Pendidikan Dan Hak-Hak Peserta Didik
Landasan empiris penelitian tentang manajemen inklusi telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak 1980-an, namun penelitian yang berskala besar di pelopori oleh the National Academy of Sciences (Amerika serikat). Hasilnya menunjukkan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Layanan ini merekomendasikan agar pendidian khusus secara
segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identiikasi yang tepat (Depdiknas, 2003: 12, dalam Heller, Holtzman & Messick, 1982). Beberapa pakar bahkan mengemukakan bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen (Baker, Wang, dan Walberg, 1994/1995).
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis yang dijelaskan dalam (Depdiknas, 2003: 12 ) dilakukan oleh Calberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah penelitian, Wang dan Baker (1985/1086) terhadap 11 buah penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian menunjukkan bahwa pendidikan inklusi berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun social anak berkelainan dan teman sebayanya.
Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Inklusi (terpadu). SLB, sebagai lembaga pendidikan tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga didalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tuna ganda. Seperti halnya di Indonesia, di negara asalnyapun penyelenggaraan pendidikan inklusi masih kontroversi (Depdiknas, 2003: 13, dalam Sunardi, 1997).
Para pendukung konsep pendidikan inklusi mengajukan argumen antara lain; (1) belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak, (2) biaya sekolah khusus relatif mahal dari pada sekolah umum, (3) sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak, (4) banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat, (5) anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.
Sedangkan para pakar yang mempertahankan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelaianan berargumen; (1) peratuaran perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum, (2) hasil penelitian tetap mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelaianan, (3) tidak semua orang tua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal, (4) pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusi karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.
Ada beberapa hak dan kebutuhan murid berkelainan, diantaranya yaitu sebagai berikut.
a.       Hak siswa :
Siswa yang memiliki kelainan tentunya mempunyai hak yang sama dengan siswa yang normal. Hal ini tercantum dalam undang-undang, yaitu mereka :
a)      Berhak mendapatkan pemeliharaan
b)      Berhak mendapatkan pendidikan
c)      Berhak mendapatkan jaminan kerja
d)     Berhak berpendapat
e)      Berhak bersuara
b.      Kebutuhan siswa :
Pada dasarnya kebutuhan siswa berkelainan adalah sama dengan kebutuhan anak normal, hanya saja ia mempunyai kebutuhan khusus disebabkan kelainannya. Kebutuhan yang dimaksudkan adalah :
a.       Kebutuhan social
Mereka memerlukan kontak dan kerjasama dengan orang lain.
b.      Kebutuhan pendidikan
Mereka harus dibantu supaya tidak disisihkan dari perencanaan dan langkah-langkah pendidikan.
c.       Kebutuhan disiplin
Mereka perlu mengenal disiplin.
d.      Kebutuhan akan gambaran diri
Agar mereka dapat mengambil langkah yang tepat sesuai dengan kenyataan dirinya.
e.       Kepercayaan diri
Sangat perlu bagi siswa berkelainan, karena orang yang tidak percaya pada dirinya akan selalu diliputi keraguan dan rasa menderita.
f.       Kebebasan berkembang
Mereka harus merasa bahwa mereka berhak berkembang sesuai dengan keadaannya masing-masing.
3.     Pengertian Pendidikan Inklusif
Anak yang memiliki kelainan memiliki hambatan dalam belajar, hambatan utamanya adalah sulit untuk maju dalam mengakses pendidikan setinggi mungkin bukan pada kecacatannya, tetapi pada penerimaan sosial masyarakat sekitar. Bahkan hambatan bagi anak yang berkelainan justru sulit mengatasi  hambatan sosial karena hambatan dalam diri anak yang mempunyai kelainan itu umumnya disebabkan oleh pandangan sosial masyarakat yang negatif terhadap dirinya. Untuk itu, pendidikan yang terselenggara tidak hanya untuk anak  normal saja akan tetapi anak yang berkelainan juga berhak memperoleh pendidikan yang layak serta mendapat jaminan bahwa setiap anak akan mendapatkan pelayanan untuk mengembangkan potensinya secara individu. Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan UU. No. 20 tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.
Pendidikan Inklusif memberikan perhatian pada pengaturan para siswa yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus untuk bisa mendapatkan pendidikan pada sekolah-sekolah umum atau reguler sebagai pengganti kelas pendidikan khusus part-time, pendidikan khusus full-time, atau sekolah luar biasa (segregasi). Pendidikan inklusif dapat juga dikatakan pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik.
Sehingga pendidikan inklusi berarti menempatkan siswa berkelainan secara fisik dalam kelas atau sekolah regular, inklusi bukanlah sekedar memasukan anak berkelainan sebanyak mungkin dalam lingkungan belajar siswa normal. Inklusi juga merupakan suatu sistem yang hanya dapat diterapkan ketika semua warga sekolah memahami dan mengadopsinya. Dalam perkembangannya, inklusi juga termasuk para siswa yang dikaruniai keberbakatan, mereka yang hidup dipinggiran, memiliki kecacatan, dan kemampuan belajar di bawah rata-rata kelompoknya. Jadi pendidikan inklusif adalah pendidikan di sekolah biasa yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus yang mempunyai IQ normal diperuntukan bagi yang memiliki kelainan (intelectual challenge), bakat istimewa, kecerdasan istimewa dan atau yang memerlukan pendidikan layanan khusus.
Pengertian lain dari pendidikan Inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon – Shevin dalam 0 Neil 1994). Sekolah penyelenggara pendidikan khusus inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980 ).
a)        Perbedaan pendidikan inklusif dengan pendidikan pada umumnya.
Pendidikan pada umumnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum/pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal. Hal ini karena asumsi yang melandasi adalah bahwa peserta didik memiliki kemampuan yang homogin. Sebaliknya pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya.
b)        Pendidikan terpadu dan pendidikan inklusif.
Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan terpadu dengan pendidikan inklusif terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.
4.         Falsafah pendidikan Inklusif
Secara umum falsafah inklusi adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian inklusi tidak hanya dalam aspek pendidikan tetapi dalam segala aspek kehidupan. Inklusi berarti juga suatu cita-cita seperti halnya kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu kehidupan masyarakat.
Falsafah pendidikan inklusif adalah upaya mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran.
a)    Sekolah ramah adalah pendidikan yang menghargai hak dasar manusia
b)   Sekolah ramah adalah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual
c)    Sekolah ramah berarti menerima keanekaragaman
d)   Sekolah ramah berarti tidak deskriminatif
e)    Sekolah ramah menghindari labelisasi
Falsafah pendidikan inklusi juga dapat bermakna :
a)    Pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak.
b)   Belajar hidup bersama dan bersosialisasi. Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik.
c)    Integrasi pada lingkungan. Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis.
d)   Penerimaan terhadap perbedaan. Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Setiap anak merupakan pribadi yang unik.
                                              BAB III
KESIMPULAN
Pendidikan inklusif merupakan pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah regular dalam satu kesatuan yang sistemik. Pendidikan inklusif dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada anak-anak berkebutuhan khusus mengenyam pendidikan sama dengan anak-anak normal dalam sekolah reguler sesuai amanat Pemerintah dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan. Pendidikan inklusif hendaknya mampu memberikan suasana yang ramah dalam pembelajaran, yaitu pendidikan yang memperhatikan kebutuhan individual, menerima keanekaragaman dan tidak diskriminatif.




DAFTAR PUSTAKA
Abdul Salim Choiri,dkk.2009.Pendidikan Anak berkebutuhan khusus secara
Inklusif.Surakarta:Percetakan sendiri.
Kartadinata, Sunaryo, dkk. 2002. Bimbingan Di Sekolah Dasar. Bandung:    Maulana
friendlyschool.blogspot.com/.../mengenal-pendidikan-inklusif-1.html
sambasalim.com/pendidikan/pendidikan-inklusi.html salimchoiri.blog.uns.ac.id/.../latar-belakang-pendidikan-inklusif-bagi-anak berkebutuhan-khusus.
www.bintangbangsaku.com/.../konsep-pendidikan-inklusi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes